Nostalgia Seribu Kata

Tidak semua remaja merasakan memakai seragam putih abu-abu. Belum lama  ini teman saya bilang bahwa dia pengen tahu rasanya pakai seragam putih abu-abu. Memang teman saya itu tak pernah melewati SMA karena selepas SMP dia melanjutkan ke sekolah kejuruan. Sebenarnya setara juga dengan SMA, tapi mungkin rasanya beda ya. Atau karena seragamnya beda jadi nuansanya juga ikut berbeda. Entahlah ... Saya sendiri beranggapan bahwa kenangan indah itu tidak hanya didapat saat SMA.

Angan & Cita-cita

Waktu itu saya masuk SMA agar peluang masuk ke perguruan tinggi lebih terbuka lebar. Alhamdulillah niat saya itu diamini kedua orang tua saya. Walaupun kami bukan dari keluarga berada, tapi semangat untuk maju itu selalu ada. Saya sendiri waktu itu belum tahu ke depannya akan seperti apa atau mau lanjut kuliah kemana, pokoknya mantep aja masuk SMA. Akhirnya saya masuk dan diterima di salah satu SMA favorit di Yogya dan itu artinya saya harus berbaur dengan teman-teman dari berbagai daerah. Tidak hanya dari Yogya saja, tapi juga teman-teman dari luar Yogya, bahkan dari luar Jawa.

Kebanggaan bisa masuk SMA favorit tenyata tidak langsung dibarengi dengan prestasi yang membanggakan. Bisa dibilang saya agak keteteran waktu di tingkat I ( kelas 1 ). Ternyata saya tidak cukup siap menghadapi perubahan lingkungan, teman dan pergaulan di tempat yang baru. Pengaruhnya jelas sekali, saya tidak konsentrasi dalam belajar dan nilainya jelek. Bahkan sempat agak syok saat tahu nilai pelajaran fisika  saya jeblok.
Ternyata lulus dengan nilai terbaik tidak menjamin seorang remaja punya kemampuan beradaptasi yang baik, tapi masih harus dibarengi dengan gemblengan mental yang kuat.

Ideal Diri vs Reality


Saat naik kelas 2 saya sudah masuk ke kelas jurusan dan saya memilih jurusan IPA. Di kelas 2 ini saya sudah lebih baik dalam menata diri dan belajar. Bisa mengejar ketinggalan pada mata pelajaran yang nilainya kurang dan memaksimalkan diri pada mata pelajaran yang diminati. Paling tidak mulai kelas 2 ini saya tahu bahwa saya punya minat kuat dan kemampuan yang lebih dalam bahasa Inggris. Kalaupun akhirnya impian saya untuk masuk sastra Inggris tidak terlaksana, yah, itulah jalan hidup.


Mulai kelas 2 saya dan teman-teman juga mulai lebih dekat dan tahu karakter masing-masing. Dengan sendirinya mulai terbentuk group sepermainan. Walaupun tak ada permusuhan, kami mulai nge-group dengan teman-teman yang dianggap cocok. Nge-geng kalau istilah anak jaman sekarang. Di sini kita mulai menemukan siapa teman seperjuangan, teman yang seru dan siapa teman sebangku.

friendship

Farida ... Dia adalah teman sebangku saya. Manakala berjilbab di SMA waktu itu masih terbilang langka, Farida sudah memulainya. Dia memang berasal dari keluarga dengan didikan agamanya kuat dan itu terlihat dalam kesehariannya. Saya sangat beruntung menjadi teman sebangkunya hingga kami lulus. Pastinya punya teman yang baik seperti dia secara tidak langsung bisa menge-rem saya untuk tidak terbawa arus pergulan remaja yang negatif.

Asri ... Dia adalah teman seperjuangan saya. Sikapnya memang lebih dewasa dibanding teman-teman yang lainnya. Kami bisa dibilang sama-sama bukan berasal dari keluarga yang berada. Kami sering naik bis yang sama karena rumah kami berada di jalur bis yang sama. Sepanjang jalan kami biasa bercerita tentang banyak hal. Dan saya terbilang paling sering berkunjung ke rumahnya karena lokasi rumah kami yang relatif lebih dekat dibanding teman yang lainnya.

Yustie ... Sebutlah dia ini anak kota. Dari Yustie ini untuk saya mendapat hadiah dan ucapan selamat ulang tahun untuk pertama kalinya. Dia memberi saya sebuah kotak perhiasan yang kalau dibuka keluar bunyi musiknya. Diberi hadiah seperti itu rasanya agak aneh gimana gitu. Bagaimana tidak, wong di rumah saya tidak pernah ada perayaan ulang tahun, bahkan sampai sekarang pun saya juga tidak pernah merayakan ulang tahun, he.
Tak hanya kepada saya, Yustie juga pernah memberikan surprise hadiah pada teman-teman di kelas.

Swasti, Warti, Vita, Eka, Budi ... Itu di antara teman-teman sepermainan saya waktu SMA. Ah, pastinya saya tidak bisa menuliskan namanya satu per satu. Group saya memang semuanya perempuan. Jadi kalau ngalor-ngidul ya selalu dengan anak-anak perempuan. Tapi walaupun perempuan semua, aktivitas kami tak selalu feminin. Kadang kami jalan-jalan sampai ke jembatan Kali Progo atau main-main ke sungai di kaki bukit Menoreh. Kalau anak jaman sekarang pada touring dengan sepeda motornya, dulu kami bisanya naik bis untuk pergi bersama.

Ada lagi kebiasaan unik yang sering kami lakukan waktu itu, yaitu kirim-kirim salam lewat radio. Waktu itu belum jamannya smartphone. Handphone pun kami belum pernah pegang. Hiburan remaja lebih sering kita dapat dari siaran radio dan tayangan televisi.
Di sekolah biasanya kita janjian dulu kalau mau kirim-kirim lagu. Pulang sekolah, kita mampir ke telpon koin yang biasanya dipasang di pinggir jalan. Kita telpon ke radionya dan membuat ucapan untuk teman-teman kita. Sorenya, sambil nyuci baju atau baca buku kita tongkrongin itu radionya menunggu ucapan salam kita dibaca.

Nostalgia SMA
Yang tidak kalah bermakna dari seribu kata ...
Kenangan SMA saya ditutup dengan cerita "manis" pada hari kami diwisuda. Saat upacara wisuda, kami diharuskan memakai pakaian daerah sesuai pilihan masing-masing. Saya sendiri mengenakan sanggul modern waktu itu. Bajunya pakai kebaya seragam sinoman kampung. Jadinya irit karena nggak perlu nyewa-nyewa baju di salon. Untuk mengabadikan momen itu, saya meminjam kamera dari tetangga dan membeli 1 buah roll film. Waktu itu belum jamannya kamera digital, jadi masih pakai kamera film dan pakai roll film atau klise. Untuk bisa melihat fotonya klise-klise ini harus dicuci cetak dulu di studio foto. Lama antrinya 3 hari-an kalau tidak salah.

Waktu ke studio ambil foto saya sudah senang bakalan punya puluhan foto yang cantik-cantik. Tapi ternyata, saya hanya diberi 3 buah foto saja oleh pramuniaganya. Dia bilang waktu roll film dibuka isinya hanya 3 buah klise. Itupun hanya bagian ujungnya. Yang mana bagian ujung ini hanya dipakai motret sembarang obyek sekedar menghabiskan roll film. Harusnya masih ada 30-an foto lagi, tapi tidak tahu hilangnya kemana. Entah salahnya di mana. Entah yang salah siapa. Pokoknya foto kenangan wisudanya lenyap semua.

Saya percaya tak ada kebetulan di dunia ini. Saat mendaftar masuk kuliah saya sudah mengenakan jilbab. Belakangan saya baru menyadari dan mencoba mengambil hikmah dari kejadian itu. Bisa jadi hilangnya semua foto itu supaya saya tidak terjebak nostalgia masa SMA dengan segala kenangannya. "Move on" istilah anak jaman sekarang. Karena di depan sana akan banyak tantangan baru menanti. Itu perkiraan saya saja ... he.

2 comments:

  1. Seru banget Mba, masa SMA nya.. semoga persahabatannya langgeng sampai anak cucu ^^

    Makasih banyak sdh ikut GA saya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mbak. Aamiin ..
      Terimakasih telah berkunjung.

      Delete

Terima kasih telah berkunjung. Maaf komentar akan dimoderasi terlebih dahulu. 🌼🌻🌸